Nampaknya adalah suatu kebutuhan biologis apabila
seseorang memandang ke masa depannya. Walaupun tidak ada dasar-dasar
rasional, toh manusia tetap berharap. Lumrah bahwa harapan demikian, pun
bila nampaknya dapat dibuktikan, bisa lenyap dan bersifat khayal.
Dan adalah menarik perhatian, betapa seringnya
harapan digambarkan oleh penyair dan penulis-penulis lainnya dengan
kata-kata sifat seperti 'pingsan', 'gemetar', 'lemah', 'putus asa',
'maya'. Sering Alkitab memakai harapan dalam pengertian biasa itu.
Contohnya, pembajak harus membajak dalam pengharapan (1 Korintus 9:10).
Harapan akan memperoleh upah itulah yang membuat pekerjaan terasa manis.
Tapi untuk bagian besar harapan seperti yang menjadi perhatian Alkitab
sangat berbeda; dan jika dibandingkan jenis harapan ini, maka
harapan-harapan yang lain hampir tidak dapat dikatakan lagi harapan.
Mayoritas pemikir sekuler di dunia kuno, tidak
melihat harapan sebagai kebaikan, tapi hanyalah angan-angan
sewaktu-waktu. Dan Paulus memberikan gambaran yang tepat mengenai
orang-orang yang menyembah berhala, sewaktu ia berkata bahwa mereka
tidak mempunyai harapan (Efesus 2:12; bandingkan 1 Tesalonika 4:13).
Alasannya yang paling hakiki ialah mereka hidup 'tanpa Tuhan'.
Di mana ada keyakinan akan Allah yang hidup, yang
berprakarsa dan bertindak, dan yang campur tangan dalam hidup manusia,
serta dipercaya bahwa Ia akan menepati janji-janji-Nya, di situ harapan
dalam pengertian alkitabiah menjadi mungkin. Harapan yang demikian
bukanlah tergantung pada tabiat seseorang, juga bukan disebabkan keadaan
yang menguntungkan atau kemungkinan-kemungkinan manusiawi lainnya.
Harapan tidak tergantung pada apa yang dimiliki seseorang, juga tidak
pada apa yang dapat ia perbuat bagi dirinya, demikian juga tidak pada
apa yang dapat dibuat oleh orang lain bagi dia. Contohnya, tidak ada
dasar dalam situasi dan keadaan Abraham yang bisa membenarkan harapannya
bahwa Sara akan melahirkan seorang anak. Tapi karena ia percaya kepada
Tuhan, ia dapat 'berharap juga' (Roma 4:18).
Harapan alkitabiah tidak dapat terlepas dari iman
kepada Tuhan. Berdasarkan apa yang telah Allah perbuat pada waktu
lampau, terutama dalam persiapan untuk kedatangan Kristus, dan
berdasarkan apa yang telah Allah perbuat dan sedang perbuat melalui
Kristus, maka orang Kristen walaupun belum melihatnya, berani
mengharapkan berkat-berkat pada masa datang (2 Korintus 1:10). Bagi dia,
kemurahan Tuhan tidak pernah akan kering. Yang terbaik masih belum
tiba. Harapannya makin bertumbuh bila ia mempelajari perbuatan-perbuatan
Tuhan seperti dilaporkan dalam Alkitab (Roma 12:12; 15:4). Kristus di
dalam orang percaya adalah pengharapan akan kemuliaan masa depan (Kolose
1:27). Keselamatannya yang terakhir tergantung pada harapan yang
demikian (Roma 8:24); dan harapan akan keselamatan ini adalah sebuah
'topi baja', suatu bagian yang paling penting dari pakaian besi untuk
berperang melawan kejahatan (1 Tesalonika 5:8). Harapan tidak seperti
layang-layang yang tergantung kepada angin yang berubah-ubah, melainkan
seperti 'sauh jiwa yang tetap mantap dan tidak berubah', menembus jauh
ke dalam dunia abadi yang tidak nampak (Ibrani 6:19). Oleh iman, orang
Kristen yakin bahwa hal-hal yang ia harapkan akan menjadi kenyataan
(Ibrani 11:1); dan harapannya tidak akan mengecewakan dia (Roma 5:5).
Tidak ada petunjuk yang jelas mengenai harapan dalam
ajaran Yesus. Tapi Ia mengajar murid-murid-Nya untuk tidak mencemaskan
hari esok, karena hari esok ada dalam tangan Bapak yang penuh kasih. Ia
juga membimbing mereka untuk berharap dengan yakin, bahwa sesudah
kebangkitan-Nya maka kuasa rohani yang baru akan tersedia bagi mereka,
akan memampukan mereka membuat hal-hal yang besar bahkan melebihi apa
yang telah Ia perbuat, untuk mengatasi dosa dan kematian, dan supaya
mereka melihat ke masa depan, ke masa di mana mereka akan turut
mengambil bagian dalam kemuliaan-Nya yang kekal. Kebangkitan Yesus
menghidupkan kembali harapan mereka. Kebangkitan merupakan perbuatan
Allah yang paling besar dalam sejarah. Berhadapan dengan kebangkitan
'rasa panik dan putus asa sirna'.
Iman Kristen pada hakikatnya adalah iman di dalam
Allah yang membangkitkan Yesus dari antara orang mati (1 Petrus 1:21).
Allah ini, yang kepada-Nya orang Kristen menaruh kepercayaannya, disebut
'Allah sumber pengharapan'. Ia dapat mengisi hidup orang percaya dengan
kesukaan dan sejahtera, dan memampukan dia untuk memiliki harapan yang
berlimpah-limpah (Roma 15:13). Oleh kebangkitan, orang Kristen
diselamatkan dari keadaan yang buruk, yaitu dari harapan dalam Kristus
yang hanya terbatas di dunia ini saja (1 Korintus 15:19), ke harapan
dalam Yesus Kristus pada masa kini, masa datang dan selama-lamanya (1
Timotius 1:1). Panggilan terhadapnya untuk menjadi murid Kristus juga
mengandung harapan agar pada akhirnya ia dapat turut mengambil bagian
dalam kemuliaan Kristus (Efesus 1:18). Harapannya tersedia di sorga
untuk dia (Kolose 1:5), dan akan dinyatakan pada waktu Kristus datang (1
Petrus 1:13).
Adanya harapan ini membuat orang Kristen tidak
mungkin puas dengan kesukaan fana (Ibrani 13:14); harapan itu juga
memacunya menuju kesucian hidup (1 Yohanes 3:2, 3), dan menyanggupkan
dia untuk bersukacita dalam penderitaan. Dapat dilihat betapa seringnya
harapan dalam PB dihubungkan dengan 'kesabaran' atau 'keteguhan'.
Kebajikan ini sangat berbeda dari ketahanan Stoa, tepatnya karena
harapan ini terikat dengan pengharapan yang tidak dikenal oleh aliran
Stoa (lihat 1 Tesalonika 1:3; Roma 5:3-5).
Dalam terang uraian di atas, tidaklah mengherankan
betapa seringnya harapan disebutkan terkait dengan iman. Para pahlawan
iman yang disebut dalam Ibr 11 adalah mercusuar dari harapan. Mungkin
yang lebih menarik adalah hubungan yang sering terjadi antara harapan,
kasih dan iman. Kombinasi ketiga unsur iman, pengharapan dan kasih
terdapat dalam 1 Tesalonika 1:3; 5:8; Galatia 5:5, 6; 1 Korintus 13:13;
Ibrani 6:10-12; 1 Petrus 1:21, 22. Karena hubungannya dengan kasih, maka
harapan orang Kristen terlepas dari pementingan diri sendiri. Orang
Kristen hanya mengharapkan berkat bagi dirinya sendiri, yang ia ingin
membagikannya kepada orang lain. Bila ia mengasihi sesamanya ia berharap
bahwa mereka juga dapat menjadi penerima hal-hal yang baik, yang ia
tahu bahwa Allah mau memberikannya kepada mereka.
Paulus bersaksi tentang harapannya sebesar kasih dan
imannya sewaktu ia mengembalikan hamba yang melarikan diri, Onesimus,
kepada tuannya Filemon. Dengan demikian iman, pengharapan dan kasih
jelas tidak dapat dipisah-pisahkan. Harapan tidak bisa ada tanpa iman,
dan kasih tidak dapat dipraktikkan tanpa harapan. Ketiga hal inilah yang
tetap tinggal (1 Korintus 13:13), dan bersama-sama mencirikan pola
hidup Kristen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar