Perbedaan-perbedaan yang ada perlu dicermati dalam
memilih pasangan hidup. Pasangan dengan latar belakang yang berbeda dari
kita, bisa memperlengkapi dan memperkaya kehidupan kita. Namun, jika
kadarnya terlampau ekstrem, tak jarang perbedaan itu berpotensi
menimbulkan konflik. Ya, jika tidak diantisipasi dan disikapi secara
tepat, perbedaan tersebut dapat menjadi "bom waktu" yang dapat meledak
sewaktu-waktu. Bom waktu yang perlu diwaspadai itu adalah sebagai
berikut.
1. Perbedaan umur yang mencolok.
Sebuah penelitian tentang kesenjangan umur antara
suami dan istri menunjukkan hasil yang menarik. Kelompok suami yang
paling bahagia adalah mereka yang istrinya lebih muda 12 tahun atau
lebih. Kelompok istri yang paling bahagia adalah mereka yang suaminya 3
-- 5 tahun lebih tua. Kesimpulannya? Silakan Anda pikirkan sendiri.
Yang jelas, jika Anda berhubungan dengan pasangan
yang jauh lebih tua atau jauh lebih muda daripada Anda, ada beberapa
potensi masalah yang perlu dipertimbangkan masak-masak. Orang yang
memiliki perbedaan umur mencolok berada pada fase hidup yang berbeda.
Minat, fokus, dan arah hidup mereka boleh jadi malah berseberangan.
Perbedaan umur yang mencolok perlu diantisipasi
secara saksama. Jalan tengah mana yang dapat diambil? Dapatkah Anda
berdua memikirkan kompromi dan solusi kreatif yang memuaskan kedua belah
pihak? Tanpa penanganan yang serius, perbedaan-perbedaan itu hanya akan
memantik percekcokan.
2. Perbedaan keyakinan rohani.
Berbeda dengan ketidakcocokan lainnya, Tuhan secara
khusus memperingatkan kita agar tidak menikah dengan orang yang tidak
percaya. Pernikahan bukan hanya perjanjian antara suami dan istri, namun
juga antara mereka dan Tuhan. Apabila salah satu pihak berbeda
keyakinan atau tidak percaya kepada Tuhan, bagian perjanjian dengan
Tuhan tentu saja menjadi rapuh. Orang kristiani yang bersungguh-sungguh
juga akan mengalami ketidakseimbangan jika menikah dengan orang
kristiani yang tidak serius dalam menghayati imannya.
Kesatuan rohani itu sangat penting karena kehidupan
pernikahan tak ayal akan melewati masa-masa berat penuh tantangan,
penderitaan, kekecewaan, musibah, sakit-penyakit, kebangkrutan, dan
kematian. Dengan kesatuan rohani, kedua pasangan akan dapat bersama-sama
berseru kepada Tuhan untuk menguatkan mereka melewati masalah tersebut.
Betapa berbedanya jika kita harus melewatinya seorang diri, tanpa
dukungan rohani dari pasangan hidup kita.
Kesatuan rohani antara suami dan istri juga
memungkinkan anak mengalami pembinaan iman yang optimal. Anak-anak
memerlukan orang tua yang dapat menunjukkan jalan menuju Yesus dan
meneladankan kerohanian yang kokoh. Dengan menyaksikan kesatuan iman
kedua orang tuanya, akan lebih mudah bagi anak untuk menyerap sistem
nilai yang sama dan memantapkan iman mereka sendiri.
3. Perbedaan latar belakang etnis, status sosial, atau pendidikan.
Seorang pelintas alam mengatakan, yang paling
mengganggunya dalam perjalanan bukanlah bebatuan besar yang merintangi
lintasan, melainkan kerikil-kerikil kecil yang menyelinap ke dalam
sepatunya. Apabila tidak dikelola secara tepat, perbedaan latar belakang
etnis, status sosial, atau pendidikan berpotensi menjadi
kerikil-kerikil kecil yang menjengkelkan dalam kehidupan pernikahan.
4. Orang tua yang terlalu dominan.
Seorang yang hendak menikah, harus siap meninggalkan
orang tuanya untuk menyatu dengan pasangannya. Dari pihak orang tua,
mereka harus mempersiapkan diri untuk melepaskan anak mereka secara
fisik, secara finansial, dan secara emosional. Pasangan yang menikah
semestinya dilepaskan untuk membangun sarang baru, menakhodai kapal
mereka secara mandiri. Orang yang menikah juga mengalihkan prioritas
perhatiannya dari orang tua kepada pasangannya. Ia lebih mengutamakan
hubungannya dengan pasangan hidupnya daripada hubungannya dengan
orang-orang lain, termasuk dengan orang tuanya.
Orang tua yang terlalu protektif atau terlalu dominan
menghambat proses ini. Mereka ingin terus-menerus mengontrol kehidupan
anaknya. Campur tangan orang tua yang berlebihan ini, tak ayal akan
mempersulit proses penyatuan kedua pasangan.
Ketika memilih pasangan hidup, Anda perlu
memerhatikan secara cermat pola hubungan antara pasangan Anda dan kedua
orang tuanya. Apakah orang tuanya siap untuk melepaskan anak mereka
menjadi pasangan Anda? Apakah pasangan Anda siap untuk meninggalkan
orang tuanya demi menyatu dengan Anda?
5. Hubungan jarak jauh.
Komunikasi kita 55% disampaikan melalui raut wajah,
sosok, dan sikap tubuh -- aspek-aspek nonverbal. Saat berhubungan
melalui telepon, kita hanya menerima 38 persen berupa nada suara dan 7%
pesan verbal. Sisanya, 55% yang nonverbal tadi, tidak hadir. Nah,
komunikasi tertulis hanya menyalurkan 7% pesan verbal dan kehilangan 93%
aspek lainnya.
Pada pasangan yang membina hubungan jarak jauh,
konselor pernikahan biasanya menyarankan agar mereka bertemu lebih
sering sebelum menikah. Jika perlu, mereka tinggal di kota yang sama
atau berdekatan selama kira-kira satu tahun. Tujuannya ialah untuk
mengenal satu sama lain secara lebih dekat dan menguji kesungguhan
hubungan mereka. Jika tidak, Anda sedang menyelundupkan bom waktu
ketidakcocokan ke dalam pernikahan Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar