Rabu, 16 Juli 2014

Jawaban: Dalam zaman kita, “tenggang rasa,” relatifisme moral diiklankan sebagai nilai utama. Setiap filsafat, ide dan sistim kepercayaan memiliki kebenaran yang sama, kata penganut relatifisme, dan karena itu patut mendapatkan respek yang setara. Mereka yang lebih condong kepada suatu sistim kepercayaan, atau yang lebih payah, mengklaim pengetahuan akan kebenaran mutlak dianggap sebagai orang yang berpikiran sempit, belum dicerahkan, atau bahkan fanatik.

Tentulah setiap agama mengklaim ekslusivitas dan para relatifis tidak mampu untuk secara logis mendamaikan semua kontradiksi yang tajam. Misalnya Alkitab mengklaim bahwa “Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja” (Ibrani 9:27), sementara beberapa agama Timur mengajarkan reinkarnasi. Jadi, apakah kita mati sekali atau mati berkali-kali? Tidak mungkin untuk kedua ajaran tsb sama-sama benar. Kaum relatifis pada dasarnya mendefinisikan ulang kebenaran agar dapat menciptakan dunia paradoks di mana berbagai “kebenaran” yang berkontradiksi dapat berada secara bersama-sama.

Yesus berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6). Orang Kristen telah menerima Kebenaran, bukan hanya sebagai sebuah konsep namun sebagai seorang Pribadi. Pengakuan semacam ini terhadap Kebenaran memisahkan orang Kristen dari apa yang disebut sebagai “pikiran terbuka” zaman ini.

Orang Kristen secara terbuka mengakui bahwa Yesus sudah bangkit dari antara orang mati (Roma 10:9-10). Jika dia benar-benar percaya pada Kebangkitan, bagaimana mungkin dia memiliki “pikiran terbuka” terhadap pandangan orang tidak percaya bahwa Yesus tidak pernah bangkit kembali? Orang Kristen yang menolak pengajaran Firman Tuhan yang begitu jelas betul-betul adalah merupakan pengkhianatan terhadap Allah.

Perhatikan bahwa kita mengutip dasar-dasar iman kita sebagai contoh-contoh kita sejauh ini. Beberapa hal (seperti kebangkitan Kristus secara fisik) tidak dapat ditawar lagi. Hal-hal lain masih dapat diperdebatkan, seperti siapa yang menulis kitab Ibrani, natur dari “duri dalam daging” Paulus, dan berapa banyak malaikat yang dapat berdiri di ujung jarum. Kita perlu menghindari perdebatan mengenai hal-hal yang sekunder (2 Timotius 2:23; Titus 3:9).

Bahkan ketika mempermasalahkan/berdialog mengenai doktrin-doktrin utama, orang Kristen perlu menahan diri dan menunjukkan sikap hormat. Memiliki perbedaan pandangan adalah satu hal, lain halnya mencibir orang. Kita mesti berpegang teguh pada kebenaran dan pada saat yang sama menunjukkan belas kasih pada mereka yang mempertanyakan kebenaran. Sama seperti Yesus, kita perlu penuh kasih karunia dan kebenaran, kedua-duanya (Yohanes 1:14).

Petrus menunjukkan keseimbangan yang bagus antara memiliki jawaban dan memiliki kerendahan hati: “Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat” (1 Petrus 3:15).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar